Apa Hukum Makan Ular Laut?
Pertanyaan
Apa Hukum Mengonsumsi Ular Laut?
Jawaban
Selain ikan, ULAR LAUT (Hydrophidae) juga ada yang hidup di laut, ular laut disebut Sea snakes dalam bahasa inggris, sedangkan nama ilmiahnya adalah Hydrophidae. Ular laut memiliki bisa yang sangat kuat (beracun), ular cobra yang populer berbisa masih kalah kuat bisanya dengan ular laut, karena bisa ular laut 60 kali lebih kuat dibanding dengan ular cobra, bahkan ada jenis ular laut berbisa yang kuatnya hingga 700 kali dari bisa ular cobra.
Adalah salah yang berpikir ular paling beracun di dunia ini adalah king cobra dan tidak ada yang dapat mematahkan gelar ular paling beracun pada king cobra.[1] Ternyata ular paling berbahaya di muka bumi ini bukanlah cobra melainkan ular laut. Banyak yang tidak mengenal ular laut karena ular ini seperti namanya memang hidup di laut dan biasanya di perairan yang banyak terumbu karang, ular laut sendiri hampir dijumpai di seluruh laut di muka bumi ini. Populasi ular laut sangatlah sedikit dibanding dengan ular yang ada di darat, namun jika kita bicara soal mematikan, ular lautlah yang paling mematikan di muka bumi ini. Bisa atau racun ular laut dapat mematikan 100-1000 orang dalam 1 kali suntikan kepada tubuh manusia, ular laut sendiri menggunakan bisa ini untuk berburu mangsanya di dalam laut dan biasanya makanan ular laut ini adalah ikan dan hewan lain di dalam laut.
Bentuk ular laut sendiri tidaklah berbeda jauh dengan ular kebanyakan. Ular laut sedikit memiliki perbedaan dengan ular yang berada di darat yaitu tubuh ular laut sedikit lebih pipih dibanding dengan ular lain. Ada beberapa jenis ular laut yang memiliki semacam ekor yang mengembang menyerupai layar di ekornya yang berfungsi untuk membantu ular bermanuver dan berenang di dalam air.
Ciri umum lain ular laut adalah warna ular laut yang blaster biasanya hitam-putih dan masih banyak lagi. Ular laut sudah dinobatkan sebagai ular paling berbisa di dunia dan telah mematahkan gelar king cobra sebagai ular paling berbisa di dunia. Walaupun ular laut adalah ular paling beracun dan berbisa di dunia, namun ular ini tidaklah agresif terhadap manusia. Apabila dirinya merasa terancam ular ini pun akan menyerang manusia. Penyerangan ular laut terhadap manusia sangatlah sedikit jika di bandingkan penyerangan ular darat terhadap manusia. Sebut saja ular boa, king cobra yang telah banyak menelan korban. Ular laut sendiri memiliki pemangsa alaminya, yaitu burung elang laut, biasanya ular laut menjadi mangsa bagi elang laut. Di Indonesia sendiri penyerangan ular laut terhadap manusia sangatlah jarang terjadi, karena mayoritas masyarakat indonesia tidak menyukai olahraga seperti menyelam dan berselancar, biasanya penyerangan ular laut terhadap manusia banyak terjadi di Eropa dan juga Amerika. Berdasarkan kandungan racun yang berbahaya yang terdapat dalam daging ular laut, maka jelas hukum mengonsumsinya haram. Meskipun ada manfaatnya, namun mudharatnya jauh lebih besar dan berbahaya.
[1] http://www.pecintabinatang.com/mengenal-ular-laut-ular-paling-beracun-di-dunia
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Halal Haram Hewan Laut yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 231-233
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Menikah dengan Laki-laki Perokok dan Memakai Cincin Emas?
Pertanyaan
Seseorang bertanya, “Jika ada seseorang yang melamar sudariku, sementara lelaki itu merokok, namun ayahku menyetujui lamarannya; karena laki-laki itu kaya dan punya jabatan yang bagus. Apakah boleh bagiku untuk diam dalam masalah ini, sementara aku juga mengetahui dia memakai cincin dari emas dalam lamaran tersebut?
Jawaban
Jika seorang muslim yang kurang agamanya melamar saudarimu maka nasehatilah ayahmu dengan ucapan yang baik, dan cara yang baik untuk tidak menerima laki-laki tersebut, dan datangkanlah yang lebih baik darinya. Namun jika ayahmu sudah berkeinginan maka tidak ada hak bagimu untuk memusuhinya, akan tetapi tetaplah menasehatinya dengan ucapan yang baik dan tata cara yang baik, adab yang sopan terhadap ayah. Apabila dia menyetujui pendapatmu dan menunggu pelamar yang lain, maka itu baik, dan lebih utama, lebih berhati-hati, namun jika dia tetap menerima dan menikahkannya, maka tidak mengapa, tidak ada dosa.Karena pelamar hari ini yang memiliki sifat yang diharapkan sangatlah sulit dan jarang, sementara menahan para gadis (dari menikah) juga menimbulkan kesulitan dan bahaya. Jika ayahnya ridha menikahkannya, sementara laki-laki itu merokok, dan menganggap remeh perkara memakai cincin dari emas (bagi laki-laki), maka laki-laki ini terus dinasehati. Cara ini bisa menyembuhkannya, jangan menolak untuk menerima lamarannya jika sang ayah menyetujui untuk putrinya tersebut, namun putrinya tidak dipaksa. Karena tidak ada hak bagi ayah memaksa putrinya secara mutlak, harus meminta izin kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam sunnah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Apabila ayahnya sudah meminta izin kepadanya dan telah menceritakan keadaan laki-laki tersebut, lalu putrinya menyetujui pernikahannya dengan laki-laki karena dia takut akan kesulitan jodoh, maka tidak mengapa insya Allah dalam hal ini. Karena keberadaan seorang suami yang sempurna yang sesuai kriterianya sangatlah jarang dan sedikit di masa sekarang ini, apalagi di kota-kota besar. Engkau wahai saudara, janganlah memperberat, akan tetapi engkau tetap menasehati dan memberikan petunjuk dengan cara yang baik, dengan adab yang shalih, ini yang nampak dariku, Wallahu’alam.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 562-563
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Hukum Ngonsumsi Obat-obatan yang Mengandung Alkohol?
Pertanyaan
Penanya bertanya, obat-obatan medis sekarang ini sebagian dari materinya terdapat alkohol apakah boleh mengonsumsinya?
Jawaban
Obat-obatan semua pada umumnya jika kandungan yang memabukkan merupakan materi yang banyak, maka jangan dikonsumsi.Adapun jika mayoritas bahannya tidak memabukkan, namun sedikit mengandung yang memabukkan maka tidak mengapa
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 563
- Published in Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa yang Dimaksud dengan Utang di atas Utang?
Pertanyaan
Seorang bertanya, “Aku mendengar dari syaikh yang mulia bahwa tidak boleh menjual utang dengan utang, dan larangan ini telah disepakati (ijma) apa makna hal tersebut dan bagaimana bentuknya?
Jawaban
Bentuknya sangat banyak, contoh engkau membeli mobil yang telah engkau sebutkan kriterianya, mobil tersebut akan diserahkan kepadamu setelah dua atau tiga bulan dengan harga 20.000 riyal yang akan engkau serahkan kepadanya setelah satu tahun atau dua tahun, maka ini utang di atas utang. Atau misalnya engkau membeli darinya seribu kilo beras, atau kurma, atau gandum seribu kilo atau dua ribu kilo yang diserahkan kepadamu setelah satu tahun atau setelah lima bulan, dengan harga yang disepakati yang juga engkau serahkan setelah enam bulan, atau lima bulan, atau setahun. Maka kedua-duanya (baik pembelian maupun penjualan) sama-sama utang, harganya utang, barangnya pun utang, ini yang dimaksud dengan jual utang dengan utang
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 563
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Jual Beli Mata Uang Dolar?
Pertanyaan
Seorang bertanya, apa hukum memperdagangkan mata uang, apakah ini termasuk riba?
Jawaban
Memperdagangkan mata uang ada beberapa perincian. Jika dia memperdagangkannya dengan satu sisi yang tidak mengandung riba maka tidak mengapa, namun jika dia memperdagangkannya dengan sesuatu yang mengandung riba maka haram atasmu. Jika dia menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain, secara kontan, maka ini tidak riba menurut pendapat yang benar, misal seseorang menjual seribu dolar dengan empat ribu dirham saudi atau uang teluk lainnya secara kontan, maka tidak mengapa, tidak secara bertangguh (kontan). Atau seseorang menjual seribu dinar Yordania atau Iraq dengan sepuluh ribu Riyal Saudi atau lainnya secara kontan, maka tidak mengapa.
Adapun penjualan dengan tangguh, maka tidak boleh; karena mata uang ini menempati posisi emas dan perak, menempati harganya dan nilainya maka tidak boleh dijual secara tangguh. Adapun jika menjual sebagian mata uang dengan sebagian yang lain dalam satu jenis, maka harus semisal dan harus serah terima langsung; seperti seseorang yang menjual seribu dari pecahan sepuluhan dengan seribu dari pecahan limaan, maka tidak mengapa asal jual beli itu dilakukan secara tunai. Dari mata uang Saudi misalnya sama-sama seribu, akan tetapi yang ini dari pecahan sepuluhan dan yang itu dari pecahan lima atau pecahan satu Riyal maka ini tidak mengapa dengan syarat serah terima secara langsung dan sama nilainya. Namun jika dia menjual seribu dari pecahan sepuluh dengan seratus dari pecahan lima atau pecahan satu riyal, maka tidak boleh; karena dia dari mata uang yang sama, ini sama menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka tidak boleh dengan nilai yang berlebih.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 563-564
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Sholat Sendirian di Tengah Ladang?
Pertanyaan
Yang mulia syaikh, aku seorang laki-laki yang memiliki tanah ladang dan perkebunan, serta hewan-hewan ternak. Seperti biasa aku keluar ke ladang dan peternakanku sebelum waktu Ashar yang membuatku shalat Ashar sendirian di ladangku, apa hukumnya hal seperti itu? Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawaban
Jika tempatnya jauh tidak terdengar adzan, maka hal tersebut tidak mengapa. Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan dan dia tidak mendatangi masjid untuk shalat, maka tidak ada ganjaran shalat baginya, kecuali karena udzur.” [1]
Jika ladang tersebut jauh dan tidak
ada seorang pun yang tinggal di sana, maka shalat bersama orang yang menemanimu
di ladang tersebut. Adapun jika ada masjid di dekat ladangmu dan engkau
mendengar adzan, maka wajib bagimu untuk shalat di masjid, engkau dan yang
bersama denganmu. Adapun jika ladang dan tanahmu jauh dari masjid, maka engkau
bisa shalat bersama orang yang menemanimu di ladangmu, Alhamdulilah.
[1] HR. At-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Shalat, Bab Dalil tentang yang mendengar adzan dan tidak menjawabnya, hadits no. 217. Ibnu Majah dalam Kitab Shalat, Bab Ancaman keras bagi yang tidak shalat secara berjama’ah, hadits no. 792. Baihaqi (2/119) dishahihkan oleh Al-Albani.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 193-194
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Bagaimana Cara Menasehati Akhwat agar Memakai Jilbab Syar’i?
Pertanyaan
Yang mulia syaikh, kami berharap engkau memberikan nasehat dan pengarahanmu kepada saudari-saudari kami agar dapat komitmen dan berpegang teguh dengan hijab yang syar’i, semoga Allah membalas kebaikanmu?
Jawaban
Kami nasehatkan dan kami wasiatkan kepada saudari-saudari kami di jalan Allah agar senantiasa mengharuskan dirinya untuk memakai hijab dan menutupi aurat, serta tidak menampakkan perhiasan, karena hal ini dapat menjadi fitnah bagi dirinya dan selainnya. Tidak boleh menampakkan sesuatu yang ada pada diri mereka yang dapat menjadi fitnah bagi manusia lainnya, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila kamu meminta suatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 53) Maka yang wajib adalah memakai hijab, karena hal itu lebih membersihkan hati mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 33)
Seorang salaf berkata “Bertingkah-laku seperti orang jahiliyah (Tabarruj) adalah menampakkan kebaikan dan kecantikannya, seperti wajah, kepala, punggung, tangan, dada, ini semua adalah fitnah. Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupi jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 59) Jilbab adalah apa yang dipakai seorang wanita untuk menutupi diri dengannya. Maka yang wajib atas kalian wahai para wanita untuk menutupi diri kalian dengan hijab dan berhati-hati dari fitnah manusia. Wanita harus tertutup seluruh badannya, wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua kakinya saat bersama manusia lainnya, atau laki-laki di masjid atau di selain masjid. Mentup diri ketika berada di pasar-pasar, di mobil, dan di pesawat terbang. Semoga Allah memberikan pertolongan.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 192-93
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apakah Thawaf Wada’ Diwajibkan saat Melaksanakan Ibadah Umrah?
Pertanyaan:
Aku datang ke Mekah untuk melaksanakan umrah dan aku berniat kembali ke negeriku setelah melaksanakan shalat Jum’at, apakah aku harus melaksanakan thawaf wada’ atau tidak? Jika aku harus melaksanakan thawaf wada’, bolehkah saya melaksanakan thawaf wada’ sebelum shalat Jum’at? Berikan kami fatwanya, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.
Jawaban:
Untuk ibadah umrah tidak ada thawaf wada’, thawaf wada’ hanya dilakukan dalam ibadah haji, inilah pendapat yang benar, jika engkau telah melakukan thawaf wada’, maka itu pun baik dan tidak ada salahnya, baik engkau melakukan thawaf wada’ sebelum atau sesudah shalat Jum’at. Jika engkau thawaf sebelum shalat, lalu engkau shalat Jum’at, kemudian engkau pulang ke negerimu, atau engkau thawaf sesudah shalat jum’at, maka tidak mengapa, persoalannya sangat terbuka dan luas bagimu untuk memilih di antara keduanya. Jika engkau mengerjakan thawaf wada’ setelah Subuh, kemudian kembali ke negerimu setelah Zhuhur, maka itu pun tidak mengapa, atau engkau thawaf setelah Zhuhur dan pulang setelah Ashar, atau setelah Maghrib, maka hal itu pun tidak mengapa, pilihannya terbuka untukmu.
Ket: Artikel ini dikutip dari Buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz terbitan Penerbit Darus Sunnah, hal. 189-190
- Published in Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apakah Buaya Halal? Dan apa hukum konsumsi Produk Olahan dari Buaya?
Pertanyaan: Apakah Buaya Halal? Dan apa hukum Mengonsumsi Produk yang berasal dari olahan Buaya?
Jawaban: Buaya merupakan salah satu jenis hewan reptil yang hampir sama dengan biawak. Buaya memiliki tubuh dan taring yang lebih dominan. Buaya tergolong hewan buas pembunuh nomor 1 pada daerah rawa, sungai, dan laut. Di Indonesia keberadaan buaya mungkin sudah sedikit berkurang, akibat pencemaran lingkungan. Populasinya berkurang juga karena adanya pemburuan illegal. Ilegal fishing ini membuat jenis hewan satu ini terancam punah. Buaya adalah salah satu hewan reptil peninggalan zaman purba. Buaya sangat dilindungi keberadaannya, walaupun justru kerap membahayakan. Buaya memiliki berbagai jenis; seperti buaya rawa, buaya sungai, buaya laut dan buaya darat. Masing-masing jenis buaya memiliki teknik membunuh yang mematikan. Berdasarkan penelitian, buaya yang paling banyak memangsa manusia adalah berjenis buaya rawa. Buaya memang monster pembunuh, akan tetapi di balik keganasannya, buaya memiliki berbagai manfaat dan khasiat yang banyak.
Buaya merupakan salah satu jenis hewan reptil yang hampir sama dengan biawak. Buaya memiliki tubuh dan taring yang lebih dominan. Buaya tergolong hewan buas pembunuh nomor 1 pada daerah rawa, sungai, dan laut. Di Indonesia keberadaan buaya mungkin sudah sedikit berkurang, akibat pencemaran lingkungan. Populasinya berkurang juga karena adanya pemburuan illegal. Ilegal fishing ini membuat jenis hewan satu ini terancam punah. Buaya adalah salah satu hewan reptil peninggalan zaman purba. Buaya sangat dilindungi keberadaannya, walaupun justru kerap membahayakan. Buaya memiliki berbagai jenis; seperti buaya rawa, buaya sungai, buaya laut dan buaya darat. Masing-masing jenis buaya memiliki teknik membunuh yang mematikan. Berdasarkan penelitian, buaya yang paling banyak memangsa manusia adalah berjenis buaya rawa. Buaya memang monster pembunuh, akan tetapi di balik keganasannya, buaya memiliki berbagai manfaat dan khasiat yang banyak.
Mengenai hukum memakan daging buaya,[1] telah ada fatwa dari komite tetap untuk riset ilmiyah dan fatwa, kerajaan Saudi Arabia no. 5394[2] yang ditandatangani oleh Ketua komite tersebut Syaikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah dan dua ulama sebagai anggotanya, yaitu Syaikh Abdurrazaq Afifi dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud –Hafizhahullahu Ta’ala-. Fatwa tersebut disampaikan berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan kepada komite berkenaaan dengan status kehalalan memakan hewan-hewan berikut: Halalkah memakan penyu, kuda laut, buaya dan landak, ataukah semua ini haram? Para ulama menjawab, “Memakan landak hukumnya halal, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi—karena semua itu kotor—atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.” (QS. Al-An’âm [6]: 145)
Juga berdasarkan kaidah, ‘Pada asalnya semua makanan diperbolehkan sampai pasti ada yang memalingkan hukum tersebut.’ Adapun penyu (kura-kura), sejumlah ulama berpendapat bahwa boleh mengonsumsi binatang ini walaupun tanpa disembelih, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 96)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang air laut,
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Airnya (laut) itu suci dan bangkainya halal.”
Alangkah lebih selamatnya adalah tetap menyembelihnya, agar keluar dari khilaf. Sedangkan buaya, ada yang berpendapat boleh dimakan seperti ikan berdasarkan keumuman ayat dan hadits di atas. Di sisi lain, ada yang menyatakan haram dimakan, karena termasuk hewan buas yang bertaring. Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama. Adapun kuda laut, maka boleh dimakan karena masuk keumuman ayat dan hadits di atas dan tidak adanya dalil yang menentangnya. Juga karena kuda darat halal dimakan berdasarkan dalil dari nash, maka tentunya kuda laut lebih pantas lagi dihalalkan.
Para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan buaya karena ia termasuk hewan air yang tidak disebutkan secara tersurat tentang keharamannya. Sedangkan ulama yang menilai haram dimakan karena ia termasuk binatang yang (khabits), apalagi buaya yang bertaring dan digunakan untuk memperkuat diri, memangsa manusia, dan binatang. Berdasarkan pendapat yang shahih di kalangan ulama termasuk di antara hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi, baik sebagai makanan atau untuk obat-obatan. Hewan ini termasuk hewan buas atau pemangsa (as- sibaa`). Dengan demikian, pengharamannya berdasar pada keumuman As-Sunnah yang melarang setiap hewan buas atau pemangsa. Berdasarkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Malik dan selainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring, maka memakannya haram.” (HR. Muslim) Juga karena hewan ini tergolong hewan yang khabits (buruk), dengan begitu pengharamannya berdasar pada keumuman ayat,
“Dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS. Al-A’râf [7]: 157)
Sementara itu, terdapat keterangan larangan dari As-Sunnah, berobat dengan sesuatu yang haram. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian.” Dan juga dari hadits Abu Ad-Darda`, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءَ، فَتَدَاوَوا، وَلَا تَتَدَاوَوا بِالْحَرَامِ
“Sesunguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kalian, tetapi janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” Dan terdapat beberapa hadits lainnya yang senada. Demikian pula, masih terdapat ragam jenis obat-obatan yang baik dan berkhasiat serta dianjurkan oleh syara` semisal: habbat as-sauda`, madu, minyak zaitun, ragam herbal, dan selainnya.[3]
Ada yang mengharamkan dengan alasan buaya adalah hewan bertaring dan buas sehingga daging dan kulitnya pun diharamkan. Namun ada pula yangg berpendapat halal berdasarkan keumuman dalil bahwa semua binatang yang hidup di air adalah halal dan boleh dimakan. Berikut dikutipkan pendapat yang menyatakan halalnya buaya dari majalah Asy-Syariah no. 80/VII/1433 H/2012, hal. 24-25: Menurut penelitian, hewan-hewan yang disebutkan sebagai hewan yang hidup di dua alam terbagi menjadi tiga.
Hewan yang dihukumi sebagai hewan air, meskipun terkadang dapat hidup di darat dalam waktu yang lama. Termasuk golongan ini adalah anjing laut, ikan lumba-lumba, penyu, dan buaya. Al-Haththab Al-Maghribi Al-Maliki Rahimahullah berkata, “Jika hewan laut tidak hidup selain di lautan dan tidak panjang kehidupannya di daratan, tidak ada problem tentang kesucian bangkainya. Akan tetapi, jika kehidupannya di daratan cukup lama, pendapat yang masyhur menyatakan bahwa bangkainya pun suci. Ini adalah pendapat Imam Malik Rahimahullah.” (Mawahib Al-Jalil, 1/124)
Setelah menyebutkan pendapat para ulama yang mengecualikan beberapa jenis hewan yang diharamkan dari hewan air, Al-Allamah Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Yang benar, tidak dikecualikan satu pun dari hewan-hewan laut berdasarkan keumuman hadits ini (yaitu hadits, “Dan bangkainya halal,”) dan berdasarkan firman Allah Ta’ala (QS. Al-Mâ`idah [5]: 96) Hal ini umum mencakup seluruh buruan laut dan tidak dikecualikan satu pun.”[4]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa buaya termasuk hewan buas dan memangsa manusia, telah dijawab oleh Al-Allamah Ibnu Utsaimin Rahimahullah, ia berkata, “Tidaklah apa yang diharamkan di darat lalu diharamkan pula yang semisalnya di laut. Sebab, laut adalah habitat tersendiri, bahkan di lautan, ada selain buaya yang bertaring dan menangkap mangsa dengan taringnya, seperti ikan hiu. Ada pula beberapa hewan aneh yang apabila melihat manusia dia akan segera meloncat di atasnya- sebagaimana yang telah diberitakan kepada saya oleh orang-orang yang biasa menyelam di lautan- sehingga berada di atasnya seperti awan mendung, lalu turun perlahan- lahan dan menelannya. Jika telah ditelan, yang ditelan pun mati….” Beliau Rahimahullah kemudian berkata, “Kesimpulannya, di antara hewan-hewan pembunuh ada yang hukumnya halal. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa yang shahih, buaya tidak dikecualikan (dari golongan hewan laut lainnya, -pen.)” (Asy-Syarhul Mumti,’ Ibnu Utsaimin, 15/34-35) Wallahu A’lam.
Berikut ini ‘getaran sehat‘ mengulas tuntas apa saja manfaat daging buaya:
Daging buaya dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Daging buaya adalah salah satu solusi herbal alami karena kandungan di dalam daging buaya hampir sama pada daging ular dan biawak yang sudah dipercaya khasiatnya sebagai penyembuhan penyakit kulit seperti jamur, gatal-gatal dan eksim. Selain itu, daging buaya memiliki tekstur yang lembut dan rendah kolesterol sehingga jenis daging ini sangat cocok jika dikonsumsi. Daging buaya memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Tepat sekali dikonsumsi pada masa perkembangan otot dan meningkatkan pertumbuhan otot. Olahan daging buaya, seperti sup buaya, sate buaya ataupun digoreng dan ditambah olahraga ringan, akan dapat meningkatkan pembentukan tubuh yang lebih ideal.
Cara pengolahan daging buaya harus dilakukan secara benar, agar parasit dan penyakit yang menempel benar-benar hilang. Daging buaya setelah dipotong-potong, kemudian dilanjutkan dengan proses pembekuan di dalam freezer. Hal tersebut sangat bermanfaat sebagai pencegah perkembangbiakan suatu bakteri atau parasit yang terdapat pada daging buaya. Setelah itu, gunakan cara pengolahan yang benar. Pengolahan yang benar akan mematikan bakteri dan parasit yang tersisa dalam proses pembekuan. Proses pemasakan yang benar dengan sterilisasi. Setiap bagian buaya hampir mempunyai manfaat. Manfaat lain dari buaya adalah kulitnya bisa sebagai bahan kerajinan tangan. Seperti diketahui bahwa sudah banyak para pengrajin aksesoris seperti tas, dompet, hingga tali pinggang menggunakan bahan dari kulit buaya. Selain memiliki kualitas baik, kulit buaya juga memiliki nilai jual yang sangat tinggi sehingga dapat menjadikan peluang bisnis yang sangat menguntungkan.
Minyak buaya yang diolah
secara asli dan murni tentu saja akan memberikan efek yang baik. Apabila
pengolahannya diberikan berbagai campuran, tentu saja akan menurunkan kulitas
dan manfaatnya. Minyak buaya
bermanfaat untuk mengobati beberapa gangguan penyakit. Penyakit jantung,
malaria, dan paru-paru dapat disembuhkan dengan mengonsumsi minyak buaya.
Selain itu, minyak buaya tidak kalah khasiatnya dengan minyak zaitun yang sangat bermanfaat
untuk menghaluskan kulit. Bagian empedu buaya memiliki khasiat yang hampir sama
dengan hati tupai dan empedu ular yang dapat mengobati berbagai ganguan
penyakit seperti asma, diabetes, dan dapat melancarkan sistem sirkulasi darah.
[1] Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Sumber: https://almanhaj.or.id/4658-hukum-makan-daging-buaya.html
[2] Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta, 22/319
[3] Sumber:http://ummfulanah.wordpress.com/2009/11/16/makan-daging-buaya/ binatang yg hidup di air.
[4] Tas-hil Al-Ilmam, syarah Bulughul Maram, Shalih Al-Fauzan, 1/20
Jawaban: Buaya merupakan salah satu jenis hewan reptil yang hampir sama dengan biawak. Buaya memiliki tubuh dan taring yang lebih dominan. Buaya tergolong hewan buas pembunuh nomor 1 pada daerah rawa, sungai, dan laut. Di Indonesia keberadaan buaya mungkin sudah sedikit berkurang, akibat pencemaran lingkungan. Populasinya berkurang juga karena adanya pemburuan illegal. Ilegal fishing ini membuat jenis hewan satu ini terancam punah. Buaya adalah salah satu hewan reptil peninggalan zaman purba. Buaya sangat dilindungi keberadaannya, walaupun justru kerap membahayakan. Buaya memiliki berbagai jenis; seperti buaya rawa, buaya sungai, buaya laut dan buaya darat. Masing-masing jenis buaya memiliki teknik membunuh yang mematikan. Berdasarkan penelitian, buaya yang paling banyak memangsa manusia adalah berjenis buaya rawa. Buaya memang monster pembunuh, akan tetapi di balik keganasannya, buaya memiliki berbagai manfaat dan khasiat yang banyak.
Mengenai hukum memakan daging buaya,[1] telah ada fatwa dari komite tetap untuk riset ilmiyah dan fatwa, kerajaan Saudi Arabia no. 5394[2] yang ditandatangani oleh Ketua komite tersebut Syaikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah dan dua ulama sebagai anggotanya, yaitu Syaikh Abdurrazaq Afifi dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud –Hafizhahullahu Ta’ala-. Fatwa tersebut disampaikan berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan kepada komite berkenaaan dengan status kehalalan memakan hewan-hewan berikut: Halalkah memakan penyu, kuda laut, buaya dan landak, ataukah semua ini haram? Para ulama menjawab, “Memakan landak hukumnya halal, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, yang artinya
“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi—karena semua itu kotor—atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.” (QS. Al-An’âm [6]: 145)
Juga berdasarkan kaidah, ‘Pada asalnya semua makanan diperbolehkan sampai pasti ada yang memalingkan hukum tersebut.’ Adapun penyu (kura-kura), sejumlah ulama berpendapat bahwa boleh mengonsumsi binatang ini walaupun tanpa disembelih, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 96)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang air laut,
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Airnya (laut) itu suci dan bangkainya halal.”
Alangkah lebih selamatnya adalah tetap menyembelihnya, agar keluar dari khilaf. Sedangkan buaya, ada yang berpendapat boleh dimakan seperti ikan berdasarkan keumuman ayat dan hadits di atas. Di sisi lain, ada yang menyatakan haram dimakan, karena termasuk hewan buas yang bertaring. Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama. Adapun kuda laut, maka boleh dimakan karena masuk keumuman ayat dan hadits di atas dan tidak adanya dalil yang menentangnya. Juga karena kuda darat halal dimakan berdasarkan dalil dari nash, maka tentunya kuda laut lebih pantas lagi dihalalkan.
Para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan buaya karena ia termasuk hewan air yang tidak disebutkan secara tersurat tentang keharamannya. Sedangkan ulama yang menilai haram dimakan karena ia termasuk binatang yang (khabits), apalagi buaya yang bertaring dan digunakan untuk memperkuat diri, memangsa manusia, dan binatang. Berdasarkan pendapat yang shahih di kalangan ulama termasuk di antara hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi, baik sebagai makanan atau untuk obat-obatan. Hewan ini termasuk hewan buas atau pemangsa (as- sibaa`). Dengan demikian, pengharamannya berdasar pada keumuman As-Sunnah yang melarang setiap hewan buas atau pemangsa. Berdasarkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Malik dan selainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring, maka memakannya haram.” (HR. Muslim) Juga karena hewan ini tergolong hewan yang khabits (buruk), dengan begitu pengharamannya berdasar pada keumuman ayat,
“Dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS. Al-A’râf [7]: 157)
Sementara itu, terdapat keterangan larangan dari As-Sunnah, berobat dengan sesuatu yang haram. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian.” Dan juga dari hadits Abu Ad-Darda`, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءَ، فَتَدَاوَوا، وَلَا تَتَدَاوَوا بِالْحَرَامِ
“Sesunguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kalian, tetapi janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” Dan terdapat beberapa hadits lainnya yang senada. Demikian pula, masih terdapat ragam jenis obat-obatan yang baik dan berkhasiat serta dianjurkan oleh syara` semisal: habbat as-sauda`, madu, minyak zaitun, ragam herbal, dan selainnya.[3]
Ada yang mengharamkan dengan alasan buaya adalah hewan bertaring dan buas sehingga daging dan kulitnya pun diharamkan. Namun ada pula yangg berpendapat halal berdasarkan keumuman dalil bahwa semua binatang yang hidup di air adalah halal dan boleh dimakan. Berikut dikutipkan pendapat yang menyatakan halalnya buaya dari majalah Asy-Syariah no. 80/VII/1433 H/2012, hal. 24-25: Menurut penelitian, hewan-hewan yang disebutkan sebagai hewan yang hidup di dua alam terbagi menjadi tiga.
Hewan yang dihukumi sebagai hewan air, meskipun terkadang dapat hidup di darat dalam waktu yang lama. Termasuk golongan ini adalah anjing laut, ikan lumba-lumba, penyu, dan buaya. Al-Haththab Al-Maghribi Al-Maliki Rahimahullah berkata, “Jika hewan laut tidak hidup selain di lautan dan tidak panjang kehidupannya di daratan, tidak ada problem tentang kesucian bangkainya. Akan tetapi, jika kehidupannya di daratan cukup lama, pendapat yang masyhur menyatakan bahwa bangkainya pun suci. Ini adalah pendapat Imam Malik Rahimahullah.” (Mawahib Al-Jalil, 1/124)
Setelah menyebutkan pendapat para ulama yang mengecualikan beberapa jenis hewan yang diharamkan dari hewan air, Al-Allamah Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Yang benar, tidak dikecualikan satu pun dari hewan-hewan laut berdasarkan keumuman hadits ini (yaitu hadits, “Dan bangkainya halal,”) dan berdasarkan firman Allah Ta’ala (QS. Al-Mâ`idah [5]: 96) Hal ini umum mencakup seluruh buruan laut dan tidak dikecualikan satu pun.”[4]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa buaya termasuk hewan buas dan memangsa manusia, telah dijawab oleh Al-Allamah Ibnu Utsaimin Rahimahullah, ia berkata, “Tidaklah apa yang diharamkan di darat lalu diharamkan pula yang semisalnya di laut. Sebab, laut adalah habitat tersendiri, bahkan di lautan, ada selain buaya yang bertaring dan menangkap mangsa dengan taringnya, seperti ikan hiu. Ada pula beberapa hewan aneh yang apabila melihat manusia dia akan segera meloncat di atasnya- sebagaimana yang telah diberitakan kepada saya oleh orang-orang yang biasa menyelam di lautan- sehingga berada di atasnya seperti awan mendung, lalu turun perlahan- lahan dan menelannya. Jika telah ditelan, yang ditelan pun mati….” Beliau Rahimahullah kemudian berkata, “Kesimpulannya, di antara hewan-hewan pembunuh ada yang hukumnya halal. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa yang shahih, buaya tidak dikecualikan (dari golongan hewan laut lainnya, -pen.)” (Asy-Syarhul Mumti,’ Ibnu Utsaimin, 15/34-35) Wallahu A’lam.
Berikut ini ‘getaran sehat‘ mengulas tuntas apa saja manfaat daging buaya:
Daging buaya dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Daging buaya adalah salah satu solusi herbal alami karena kandungan di dalam daging buaya hampir sama pada daging ular dan biawak yang sudah dipercaya khasiatnya sebagai penyembuhan penyakit kulit seperti jamur, gatal-gatal dan eksim. Selain itu, daging buaya memiliki tekstur yang lembut dan rendah kolesterol sehingga jenis daging ini sangat cocok jika dikonsumsi. Daging buaya memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Tepat sekali dikonsumsi pada masa perkembangan otot dan meningkatkan pertumbuhan otot. Olahan daging buaya, seperti sup buaya, sate buaya ataupun digoreng dan ditambah olahraga ringan, akan dapat meningkatkan pembentukan tubuh yang lebih ideal.
Cara pengolahan daging buaya harus dilakukan secara benar, agar parasit dan penyakit yang menempel benar-benar hilang. Daging buaya setelah dipotong-potong, kemudian dilanjutkan dengan proses pembekuan di dalam freezer. Hal tersebut sangat bermanfaat sebagai pencegah perkembangbiakan suatu bakteri atau parasit yang terdapat pada daging buaya. Setelah itu, gunakan cara pengolahan yang benar. Pengolahan yang benar akan mematikan bakteri dan parasit yang tersisa dalam proses pembekuan. Proses pemasakan yang benar dengan sterilisasi. Setiap bagian buaya hampir mempunyai manfaat. Manfaat lain dari buaya adalah kulitnya bisa sebagai bahan kerajinan tangan. Seperti diketahui bahwa sudah banyak para pengrajin aksesoris seperti tas, dompet, hingga tali pinggang menggunakan bahan dari kulit buaya. Selain memiliki kualitas baik, kulit buaya juga memiliki nilai jual yang sangat tinggi sehingga dapat menjadikan peluang bisnis yang sangat menguntungkan.
Minyak buaya yang diolah
secara asli dan murni tentu saja akan memberikan efek yang baik. Apabila
pengolahannya diberikan berbagai campuran, tentu saja akan menurunkan kulitas
dan manfaatnya. Minyak buaya
bermanfaat untuk mengobati beberapa gangguan penyakit. Penyakit jantung,
malaria, dan paru-paru dapat disembuhkan dengan mengonsumsi minyak buaya.
Selain itu, minyak buaya tidak kalah khasiatnya dengan minyak zaitun yang sangat bermanfaat
untuk menghaluskan kulit. Bagian empedu buaya memiliki khasiat yang hampir sama
dengan hati tupai dan empedu ular yang dapat mengobati berbagai ganguan
penyakit seperti asma, diabetes, dan dapat melancarkan sistem sirkulasi darah.
[1] Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Sumber: https://almanhaj.or.id/4658-hukum-makan-daging-buaya.html
[2] Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta, 22/319
[3] Sumber:http://ummfulanah.wordpress.com/2009/11/16/makan-daging-buaya/ binatang yg hidup di air.
[4] Tas-hil Al-Ilmam, syarah Bulughul Maram, Shalih Al-Fauzan, 1/20
Artikel ini dikutip dari Buku HALAL HARAM HEWAN LAUT Terbitan DARUS SUNNAH, hal 94-101
- Published in Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah
Apa Hukum Ngalap Berkah dari Dinding dan Bebatuan Ka’bah?
Pertanyaan
Apa hukumnya mengambil berkah dari dinding dan bebatuan Ka’bah?
Jawaban
Tidak boleh mengambil berkah dengan batu-batu Ka’bah, dindingnya, kelambunya; karena tidak ada anjuran dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau dari para shahabat. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena hal ini diajarkan oleh orang yang jahil atau tidak mengerti. Sesungguhnya yang disyariatkan Allah adalah mencium hajar aswad dan memegangnya dengan tangan, serta memegang rukun yamani dengan tangan, seperti inilah yang ada di dalam sunnah. Ketika Umar Radhiyallahu Anhu mencium hajar aswad, dia berkata,
إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ .
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak bermanfaat, Seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”[1]
Seperti inilah meletakkan kedua tangan di atas dada di antara rukun yamani dan pintu multazam dan berdoa, ini disyariatkan. Tidak untuk meminta berkah dari Ka’bah, tetapi ini adalah ibadah yang disyariatkan yang dilakukan oleh kalangan salaf. Begitu pula halnya yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ka’bah, ketika memasukinya beliau meletakkan tangannya di atas dada untuk meminta berkah dari Allah Ta’ala dengan berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada Ka’bah. Tidak meminta berkah dari kelambunya, atau dari hajar aswad, mintalah keberkahan kepada Allah di rumahnya yang mulia, di tempat lain, saat sedang thawaf, saat sedang sa’i dan di setiap tempat mintalah kepada Rabbmu.
Allah Ta’ala berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan doamu.” (Ghâfir [40]: 60) Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu Muhammad tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Engkau meminta kepada Rabbmu, memohon keberkahan dari sisi-Nya Ta’ala, meminta kepada-Nya kebaikan dan selainnya. Allah Ta’ala bisa memberi keberkahan pada amal perbuatan manusia, sebagaimana perkataan Usaid bin Al-Khudhair kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, “Bukanlah dia awal keberkahanmu wahai keluarga Abu Bakar.”[2] Yaitu bisa menjadi sebab untuk mendapatkan kebaikan, sehingga Dia memberimu syafaat karena suatu hal, engkau diberi hadiah juga menjadi sebab engkau mendapatkan pertolongan dari-Nya. Engkau mendapatkan keberkahan dengan suatu hal yang dapat bermanfaat dengannya, dengan ajakannya kepada jalan Allah, dengan pengajaran yang Dia berikan, dengan petunjuk-Nya, maka Dialah Allah yang memberi taufik untuk sesuatu yang seperti ini dan menjadikannya berkah. Sebagaimana Nabi Isa Alaihissalam berkata, “Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.” (QS. Maryam [19]: 31)
Adapun rumah ini (Ka’bah), maka
janganlah engkau meminta darinya keberkahan, atau dari kelambunya, atau dari
selainnya; karena keberkahan yang engkau minta berasal dari Allah. Jika engkau
berdoa kepada Allah Ta’ala saat
engkau thawaf, saat engkau sa’i,
atau di dalam Ka’bah,
engkau meminta kepada Allah dengan niat seperti ini yang harus kamu miliki,
saat kamu berada di dalam Ka’bah,
atau saat engkau mencium hajar aswad, atau saat engkau memegang rukun yamani,
itu berarti engkau tidak meminta keberkahan dari benda-benda yang diberkahi
tersebut, akan tetapi engkau meminta keutamaan, keberkahan, kebaikan dan
ganjaran kebaikan dari Allah Ta’ala.
[1] HR. Al-Bukhari dari hadits Umar Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Haji, Bab Apa yang disebutkan tentang hajar aswad, hadits no. 1597.
[2] Muttafaq Alaih, HR. Al-Bukhari, dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Kitab Tayamum, Bab firman Allah Ta’ala, “Maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang bersih (suci), usapkan wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.” (QS. Al-Mâ`idah [5]:6) Hadits no. 334. Muslim dalam Kitab Haid Bab Tayamum, hadits no. 367.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 186-187
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah
- 1
- 2