Bolehkah Jima’ dengan Istri ketika sudah berniat Ihram?
Pertanyaan
Seseorang telah mengambil niat ihram dari tempat miqatnya saat dia berada di dalam pesawat terbang dan ketika sampai di Jedah, dia bertemu dengan istrinya, sedang dia menyadari bahwa jima’ adalah salah-satu yang membatalkan ihram. Lalu istrinya berkata kepadanya sementara dia seorang terpelajar, “sesungguhnya barangsiapa yang membatalkan ihramnya, maka boleh baginya untuk melakukan jima’, kemudian dia boleh berihram kembali untuk yang kedua kali.” Lalu dia pun melakukannya bersama istrinya dan ia merasa bersalah setelah itu, maka apa yang harus dilakukan sekarang?
Jawaban
Dia telah berbuat kesalahan atas apa yang dilakukan bersama suaminya. Kami memohon kepada Allah ampunan dan keselamatan, dia telah berfatwa tanpa dasar ilmu, bisa jadi karena hasrat yang mendorongnya kepada fatwa yang bathil ini. Dia harus bertaubat kepada Allah Ta’ala, begitu pula dengan istrinya harus bertaubat kepada Allah. Mereka harus segera bertaubat kepada Allah, dan suami harus membayar dam dengan menyembelih unta atau sapi dan membatalkan hajinya. Dia harus menyempurnakan haji yang telah rusak dengan menyembelih unta atau sapi dan dibagikan kepada fakir miskin. Hal seperti inilah yang difatwakan kepada para shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, berupa seekor unta atau sapi bagi yang melakukan jima’ sebelum hari Arafah dengan menyempurnakan haji yang telah rusak dan harus mengerjakan haji sekali lagi, sebagai pengganti dari haji yang telah rusak. Kami memohon kepada Allah keselamatan dan tidak ada daya upaya serta kekuatan kecuali dengan izin Allah Ta’ala.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 108-109
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Seseorang Melakukan Dosa Besar Terus-Menerus?
Pertanyaan
Seorang bertanya, jika seorang muslim terbiasa melakukan salah satu dosa besar dan terus-menerus melakukannya, sedangkan dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut diharamkan oleh syariat, apakah dia keluar dari agama ini?
Jawaban
Jika dia terus-menerus melakukan dosa besar tersebut, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mengeluarkannya dari Islam. Akan tetapi, kaum Khawarij menganggap kafir pelaku dosa besar, tidak sebagaimana pendapat Ahlussunnah. Walaupun dia terus-menerus melakukan dosa tersebut, selama tidak menganggapnya halal, maka dia tidak bisa dianggap kafir. Walaupun dia terus-menerus meminum khamar, atau durhaka terhadap kedua orang tuanya, atau berzina-aku belindung kepada Allah dari perbuatan itu, maka dia tidak dianggap kafir, tetapi dia hanya dianggap sebagai pelaku maksiat. Perilaku maksiat yang terus-menerus seperti ini merupakan sebab tidak terhapusnya keburukan dan dosa yang dilakukan, tidak bermanfaat baginya shalat lima waktu yang dilakukannya, tidak bermanfaat zakat dan ibadah haji yang ditunaikan untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukannya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at berikutnya, dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah menghapus dosa di antaranya selama menjauhi dosa-dosa besar.”[1]
Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang agung, yang artinya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu.” (QS. An-Nisâ` [4]: 31)
Maka syarat dihapuskannya keburukan dan dosa adalah dengan menjauhi dosa-dosa besar. Jika masih terus-menerus melakukan dosa-dosa besar, maka diharamkan baginya untuk dihapuskan keburukannya, sehingga dia berada di dalam situasi yang berbahaya untuk masuk ke dalam neraka, jika dia wafat dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosa yang biasa dilakukannya. Akan tetapi jika dia masuk ke dalam neraka dia tidak abadi di dalamnya, dia diadzab menurut besarnya kadar dosa yang dilakukan, dia berada di dalam neraka selama yang dikehendaki Allah Ta’ala, kemudian Allah Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dengan ketauhidan dan keislamannya menuju surga dan dia tidak dianggap sebagai kafir, kecuali menganggap halal dosa besar. Seperti dia berkata bahwa perbuatan zina itu halal, maka dia telah menjadi kafir menurut pendapat seluruh kaum muslimin, atau khamar itu halal, maka dia telah menjadi kafir menurut pendapat seluruh kaum muslimin. Adapun jika seseorang minum khamar, sedangkan dia mengetahui dia telah bermaksiat dan mengetahui bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan, akan tetapi dia dikuasai oleh hawa nafsunya, taat kepada setan, mengikuti teman-teman yang biasa melakukan perbuatan dosa, maka dia adalah seorang hamba Allah yang durhaka.
Dia telah melakukan dosa besar yang merupakan sebab dia tidak akan mendapatkan ampunan. Begitu pula halnya dengan perbuatan zina, sedang dia menyadari dan meyakini bahwa perbuatan zina itu diharamkan, akan tetapi dia mentaati godaan setan dan hawa nafsu, maka dia tidak menjadi kafir, dia hanya sebagai pelaku maksiat yang menyebabkan dia tidak mendapatkan ampunan Allah dan terancam akan masuk ke dalam neraka kelak di hari kiamat, jika dia mati dalam keadaan demikian. Dia bukan sebagai kafir dan dia tidak kekal di dalam neraka, dia masuk ke dalam neraka dan menerima adzab di dalam neraka, selama yang Allah kehendaki, kemudian dia akan dikeluarkan darinya.
Sungguh Ahlussunnah sangat mengingkari kaum Khawarij dan bersikap tegas terhadap mereka; karena mereka mengafirkan pelaku dosa. Mereka mengafirkan Ali, Utsman, mengkafirkan beberapa orang shahabat Nabi Ridhwaanullah Alaihim Ajmain dengan alasan bahwa mereka telah berpaling dari ajaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, setelah wafatnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka menjadi orang-orang yang tersesat karenanya. Adapun yang benar bahwa kaum khawarij adalah kaum yang telah menjadi kafir. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda terkait mereka,
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فُوْقِهِ
“Mereka akan keluar dari agama, sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya, kemudian mereka tidak akan kembali, sehingga anak panah tersebut kembali diarahkan ke sasaran.”[2]
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Mereka keluar dari Islam, sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya [3]”.
Yang benar tentang kaum Khawarij,
bahwa mereka telah menjadi kafir; karena mereka mengafirkan kaum muslimin.
Adapun pelaku maksiat bukan termasuk orang yang dianggap kafir selama dia tidak
memandang dan meyakini halalnya kemaksiatan yang dilakukannya. Akan tetapi dia
melakukan maksiat karena mengikuti hawa nafsunya saja, baik melakukan zina,
atau meminum khamar, atau durhaka terhadap kedua orang tuanya, atau selain itu
dari perbuatan maksiat, akan tetapi dia harus segera bertaubat dan kembali ke
jalan Allah Ta’ala, semoga
Allah mengampuninya.
[1] HR. Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Thaharah, Bab Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, sebagai kafarat untuk waktu di antara keduanya, selama menjauhi dosa besar, hadits no. 233.
[2] HR. Al-Bukhari, dari hadits Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Tauhid, Bab Qira’atul fajir wal munafiq wa ashwatahum wa tilawatahum la tujawiz hanajirihim, dengan hadits no. 7562.
[3] HR. Al-Bukhari, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Istitabah Al-Murtaddin, Bab Qatlul khawarij wa Al-Murtaddin ba’da iqamatul hujjah alaihim, hadits no. 6933.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 103-104
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah
Apa Hukum Menceraikan Istri karena Melanggar Perintah Suami?
Pertanyaan:
Aku berharap yang mulia syaikh memberitahuku jawaban dari pertanyaan ini. Aku telah bersumpah kepada istriku bahwa aku akan menceraikannya talak tiga, agar dia tidak keluar rumah selama aku melakukan perjalanan jauh, akan tetapi dia keluar rumah, sedangkan padanya janji untuk tidak keluar rumah. Apa yang harus aku lakukan?
Jawaban:
Jika engkau berkata aku pasti menceraikanmu, jangan keluar rumah, sedangkan maksudmu adalah melarangnya dan bukan maksudmu untuk menceraikannya, maksudmu menakut-nakutinya dan melarangnya untuk keluar rumah, jika seperti ini maka ada kafarat sumpah yang harus dibayarkan. Adapun jika memang niatmu untuk menceraikannya, maka jatuhlah talak atasnya. Sedangkan jika dia lupa akan janjinya kepadamu, lalu dia keluar rumah, maka tidak jatuh talak baginya. Adapun jika dia tahu dan ingat dengan apa yang telah engkau katakan kepadanya dan memang niatmu hendak menceraikannya, maka jatuh talaknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semuanya.
Ket: Artikel ini diambil dari Buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz hal 204 terbitan Penerbit DARUS SUNNAH
- Published in Fiqih, Ruang Wanita & Keluarga
Tips Puasa Sehat Selama Ramadhan
Berpuasa selama bulan Ramadhan memiliki risiko dehidrasi yang tinggi karena makanan dan minuman terbatas sebelum matahari terbit dan terbenam. Selain itu, karena orang yang berpuasa dianjurkan untuk bangun pagi-pagi sekali untuk makan sahur, atau kurang tidur, dehidrasi dapat menyebabkan sakit kepala.
“Puasa sehat dimungkinkan jika Anda mengonsumsi makanan yang tepat dan dalam jumlah yang tepat,” saran Departemen Dietetika di Singapore General Hospital (SGH), anggota kelompok SingHealth.
Berikut ini beberapa tips puasa sehat:
1. Jangan lewatkan Sahur
Seperti kata pepatah, ‘sarapan adalah makanan paling penting hari ini’. Dan selama Ramadhan, itu menjadi lebih penting!
Meskipun melewatkan Sahur untuk tidur tanpa gangguan mungkin terdengar menarik, Anda tidak harus melakukannya.
Melewati Sahur memperpanjang periode puasa karena tubuh Anda harus bergantung pada makanan sebelumnya untuk memberi Anda semua nutrisi dan energi sampai berbuka. Karena berpuasa berjam-jam lebih lama, Anda cenderung merasa dehidrasi dan lelah di siang hari. Selain itu, melewatkan Sahur juga mendorong makan berlebihan selama berbuka puasa, yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak sehat.
2. Jangan makan berlebihan saat berbuka puasa
Sama seperti tidak disarankan untuk melewatkan Sahur, makan berlebihan ketika tiba saatnya berbuka puasa dapat membahayakan tubuh Anda.
Berbuka puasa harus menjadi makanan bergizi seimbang. Terlalu banyak makan dan konsumsi makanan berlemak tinggi secara berlebihan dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan penambahan berat badan. Perlahan dan nikmati setiap suapan makanan Anda.
3. Hindari makan gorengan, makanan asin dan makanan tinggi gula
Tidak jarang bagi orang yang berpuasa untuk menghadiahi diri mereka dengan hidangan yang kaya rasa, berminyak, digoreng, dan bergula. Meskipun makanan-makanan ini terasa enak dalam jangka pendek, mereka dapat membuat puasa keesokan harinya menjadi lebih sulit.
Selain dari kenaikan berat badan yang tidak sehat, mengkonsumsi makanan berlemak dan bergula juga menyebabkan kelesuan dan kelelahan. Selain itu, Anda harus membatasi asupan garam, terutama selama sahur (makan subuh), karena ini meningkatkan rasa haus.
Sebagai gantinya, cobalah memasukkan makanan dari semua kelompok makanan utama termasuk buah dan sayuran, beras dan alternatif, serta daging dan alternatif. Mengkonsumsi makanan kaya serat selama bulan Ramadhan juga ideal karena dicerna lebih lambat dari makanan olahan sehingga Anda merasa kenyang lebih lama.
4. Minumlah air sebanyak mungkin
Minum air sebanyak mungkin antara buka dan sahur akan mengurangi dehidrasi.
Usahakan untuk minum setidaknya 8 gelas cairan setiap hari sebelum fajar dan setelah matahari terbenam. Cairan termasuk jus, susu, minuman dan sup, tetapi air adalah pilihan terbaik. Idealnya, Anda juga harus mengurangi minuman berkafein seperti kopi, teh dan cola karena ini memiliki efek diuretik dan meningkatkan kehilangan cairan.
- Published in Fiqih
Apa Hukum Wanita Menerima Lamaran Lelaki Perokok dan Memakai Cincin Emas?
Pertanyaan: Seseorang bertanya, “Jika ada seseorang yang melamar sudariku, sementara lelaki itu merokok, namun ayahku menyetujui lamarannya; karena laki-laki itu kaya dan punya jabatan yang bagus. Apakah boleh bagiku untuk diam dalam masalah ini, sementara aku juga mengetahui dia memakai cincin dari emas dalam lamaran tersebut?
Jawab: Jika seorang muslim yang kurang agamanya melamar saudarimu maka nasehatilah ayahmu dengan ucapan yang baik, dan cara yang baik untuk tidak menerima laki-laki tersebut, dan datangkanlah yang lebih baik darinya. Namun jika ayahmu sudah berkeinginan maka tidak ada hak bagimu untuk memusuhinya, akan tetapi tetaplah menasehatinya dengan ucapan yang baik dan tata cara yang baik, adab yang sopan terhadap ayah. Apabila dia menyetujui pendapatmu dan menunggu pelamar yang lain, maka itu baik, dan lebih utama, lebih berhati-hati, namun jika dia tetap menerima dan menikahkannya, maka tidak mengapa, tidak ada dosa.Karena pelamar hari ini yang memiliki sifat yang diharapkan sangatlah sulit dan jarang, sementara menahan para gadis (dari menikah) juga menimbulkan kesulitan dan bahaya. Jika ayahnya ridha menikahkannya, sementara laki-laki itu merokok, dan menganggap remeh perkara memakai cincin dari emas (bagi laki-laki), maka laki-laki ini terus dinasehati. Cara ini bisa menyembuhkannya, jangan menolak untuk menerima lamarannya jika sang ayah menyetujui untuk putrinya tersebut, namun putrinya tidak dipaksa. Karena tidak ada hak bagi ayah memaksa putrinya secara mutlak, harus meminta izin kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam sunnah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Apabila ayahnya sudah meminta izin kepadanya dan telah menceritakan keadaan laki-laki tersebut, lalu putrinya menyetujui pernikahannya dengan laki-laki karena dia takut akan kesulitan jodoh, maka tidak mengapa insya Allah dalam hal ini. Karena keberadaan seorang suami yang sempurna yang sesuai kriterianya sangatlah jarang dan sedikit di masa sekarang ini, apalagi di kota-kota besar. Engkau wahai saudara, janganlah memperberat, akan tetapi engkau tetap menasehati dan memberikan petunjuk dengan cara yang baik, dengan adab yang shalih, ini yang nampak dariku, Wallahu’alam.
Ket: Artikel ini diambil dari Buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz hal 562-563 terbitan Penerbit DARUS SUNNAH
- Published in Fiqih
- 1
- 2