Apa Hukum Makan Ular Laut?
Pertanyaan
Apa Hukum Mengonsumsi Ular Laut?
Jawaban
Selain ikan, ULAR LAUT (Hydrophidae) juga ada yang hidup di laut, ular laut disebut Sea snakes dalam bahasa inggris, sedangkan nama ilmiahnya adalah Hydrophidae. Ular laut memiliki bisa yang sangat kuat (beracun), ular cobra yang populer berbisa masih kalah kuat bisanya dengan ular laut, karena bisa ular laut 60 kali lebih kuat dibanding dengan ular cobra, bahkan ada jenis ular laut berbisa yang kuatnya hingga 700 kali dari bisa ular cobra.
Adalah salah yang berpikir ular paling beracun di dunia ini adalah king cobra dan tidak ada yang dapat mematahkan gelar ular paling beracun pada king cobra.[1] Ternyata ular paling berbahaya di muka bumi ini bukanlah cobra melainkan ular laut. Banyak yang tidak mengenal ular laut karena ular ini seperti namanya memang hidup di laut dan biasanya di perairan yang banyak terumbu karang, ular laut sendiri hampir dijumpai di seluruh laut di muka bumi ini. Populasi ular laut sangatlah sedikit dibanding dengan ular yang ada di darat, namun jika kita bicara soal mematikan, ular lautlah yang paling mematikan di muka bumi ini. Bisa atau racun ular laut dapat mematikan 100-1000 orang dalam 1 kali suntikan kepada tubuh manusia, ular laut sendiri menggunakan bisa ini untuk berburu mangsanya di dalam laut dan biasanya makanan ular laut ini adalah ikan dan hewan lain di dalam laut.
Bentuk ular laut sendiri tidaklah berbeda jauh dengan ular kebanyakan. Ular laut sedikit memiliki perbedaan dengan ular yang berada di darat yaitu tubuh ular laut sedikit lebih pipih dibanding dengan ular lain. Ada beberapa jenis ular laut yang memiliki semacam ekor yang mengembang menyerupai layar di ekornya yang berfungsi untuk membantu ular bermanuver dan berenang di dalam air.
Ciri umum lain ular laut adalah warna ular laut yang blaster biasanya hitam-putih dan masih banyak lagi. Ular laut sudah dinobatkan sebagai ular paling berbisa di dunia dan telah mematahkan gelar king cobra sebagai ular paling berbisa di dunia. Walaupun ular laut adalah ular paling beracun dan berbisa di dunia, namun ular ini tidaklah agresif terhadap manusia. Apabila dirinya merasa terancam ular ini pun akan menyerang manusia. Penyerangan ular laut terhadap manusia sangatlah sedikit jika di bandingkan penyerangan ular darat terhadap manusia. Sebut saja ular boa, king cobra yang telah banyak menelan korban. Ular laut sendiri memiliki pemangsa alaminya, yaitu burung elang laut, biasanya ular laut menjadi mangsa bagi elang laut. Di Indonesia sendiri penyerangan ular laut terhadap manusia sangatlah jarang terjadi, karena mayoritas masyarakat indonesia tidak menyukai olahraga seperti menyelam dan berselancar, biasanya penyerangan ular laut terhadap manusia banyak terjadi di Eropa dan juga Amerika. Berdasarkan kandungan racun yang berbahaya yang terdapat dalam daging ular laut, maka jelas hukum mengonsumsinya haram. Meskipun ada manfaatnya, namun mudharatnya jauh lebih besar dan berbahaya.
[1] http://www.pecintabinatang.com/mengenal-ular-laut-ular-paling-beracun-di-dunia
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Halal Haram Hewan Laut yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 231-233
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Menikah dengan Laki-laki Perokok dan Memakai Cincin Emas?
Pertanyaan
Seseorang bertanya, “Jika ada seseorang yang melamar sudariku, sementara lelaki itu merokok, namun ayahku menyetujui lamarannya; karena laki-laki itu kaya dan punya jabatan yang bagus. Apakah boleh bagiku untuk diam dalam masalah ini, sementara aku juga mengetahui dia memakai cincin dari emas dalam lamaran tersebut?
Jawaban
Jika seorang muslim yang kurang agamanya melamar saudarimu maka nasehatilah ayahmu dengan ucapan yang baik, dan cara yang baik untuk tidak menerima laki-laki tersebut, dan datangkanlah yang lebih baik darinya. Namun jika ayahmu sudah berkeinginan maka tidak ada hak bagimu untuk memusuhinya, akan tetapi tetaplah menasehatinya dengan ucapan yang baik dan tata cara yang baik, adab yang sopan terhadap ayah. Apabila dia menyetujui pendapatmu dan menunggu pelamar yang lain, maka itu baik, dan lebih utama, lebih berhati-hati, namun jika dia tetap menerima dan menikahkannya, maka tidak mengapa, tidak ada dosa.Karena pelamar hari ini yang memiliki sifat yang diharapkan sangatlah sulit dan jarang, sementara menahan para gadis (dari menikah) juga menimbulkan kesulitan dan bahaya. Jika ayahnya ridha menikahkannya, sementara laki-laki itu merokok, dan menganggap remeh perkara memakai cincin dari emas (bagi laki-laki), maka laki-laki ini terus dinasehati. Cara ini bisa menyembuhkannya, jangan menolak untuk menerima lamarannya jika sang ayah menyetujui untuk putrinya tersebut, namun putrinya tidak dipaksa. Karena tidak ada hak bagi ayah memaksa putrinya secara mutlak, harus meminta izin kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam sunnah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Apabila ayahnya sudah meminta izin kepadanya dan telah menceritakan keadaan laki-laki tersebut, lalu putrinya menyetujui pernikahannya dengan laki-laki karena dia takut akan kesulitan jodoh, maka tidak mengapa insya Allah dalam hal ini. Karena keberadaan seorang suami yang sempurna yang sesuai kriterianya sangatlah jarang dan sedikit di masa sekarang ini, apalagi di kota-kota besar. Engkau wahai saudara, janganlah memperberat, akan tetapi engkau tetap menasehati dan memberikan petunjuk dengan cara yang baik, dengan adab yang shalih, ini yang nampak dariku, Wallahu’alam.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 562-563
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa yang Dimaksud dengan Utang di atas Utang?
Pertanyaan
Seorang bertanya, “Aku mendengar dari syaikh yang mulia bahwa tidak boleh menjual utang dengan utang, dan larangan ini telah disepakati (ijma) apa makna hal tersebut dan bagaimana bentuknya?
Jawaban
Bentuknya sangat banyak, contoh engkau membeli mobil yang telah engkau sebutkan kriterianya, mobil tersebut akan diserahkan kepadamu setelah dua atau tiga bulan dengan harga 20.000 riyal yang akan engkau serahkan kepadanya setelah satu tahun atau dua tahun, maka ini utang di atas utang. Atau misalnya engkau membeli darinya seribu kilo beras, atau kurma, atau gandum seribu kilo atau dua ribu kilo yang diserahkan kepadamu setelah satu tahun atau setelah lima bulan, dengan harga yang disepakati yang juga engkau serahkan setelah enam bulan, atau lima bulan, atau setahun. Maka kedua-duanya (baik pembelian maupun penjualan) sama-sama utang, harganya utang, barangnya pun utang, ini yang dimaksud dengan jual utang dengan utang
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 563
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Jual Beli Mata Uang Dolar?
Pertanyaan
Seorang bertanya, apa hukum memperdagangkan mata uang, apakah ini termasuk riba?
Jawaban
Memperdagangkan mata uang ada beberapa perincian. Jika dia memperdagangkannya dengan satu sisi yang tidak mengandung riba maka tidak mengapa, namun jika dia memperdagangkannya dengan sesuatu yang mengandung riba maka haram atasmu. Jika dia menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain, secara kontan, maka ini tidak riba menurut pendapat yang benar, misal seseorang menjual seribu dolar dengan empat ribu dirham saudi atau uang teluk lainnya secara kontan, maka tidak mengapa, tidak secara bertangguh (kontan). Atau seseorang menjual seribu dinar Yordania atau Iraq dengan sepuluh ribu Riyal Saudi atau lainnya secara kontan, maka tidak mengapa.
Adapun penjualan dengan tangguh, maka tidak boleh; karena mata uang ini menempati posisi emas dan perak, menempati harganya dan nilainya maka tidak boleh dijual secara tangguh. Adapun jika menjual sebagian mata uang dengan sebagian yang lain dalam satu jenis, maka harus semisal dan harus serah terima langsung; seperti seseorang yang menjual seribu dari pecahan sepuluhan dengan seribu dari pecahan limaan, maka tidak mengapa asal jual beli itu dilakukan secara tunai. Dari mata uang Saudi misalnya sama-sama seribu, akan tetapi yang ini dari pecahan sepuluhan dan yang itu dari pecahan lima atau pecahan satu Riyal maka ini tidak mengapa dengan syarat serah terima secara langsung dan sama nilainya. Namun jika dia menjual seribu dari pecahan sepuluh dengan seratus dari pecahan lima atau pecahan satu riyal, maka tidak boleh; karena dia dari mata uang yang sama, ini sama menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka tidak boleh dengan nilai yang berlebih.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 563-564
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Sholat Sendirian di Tengah Ladang?
Pertanyaan
Yang mulia syaikh, aku seorang laki-laki yang memiliki tanah ladang dan perkebunan, serta hewan-hewan ternak. Seperti biasa aku keluar ke ladang dan peternakanku sebelum waktu Ashar yang membuatku shalat Ashar sendirian di ladangku, apa hukumnya hal seperti itu? Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawaban
Jika tempatnya jauh tidak terdengar adzan, maka hal tersebut tidak mengapa. Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan dan dia tidak mendatangi masjid untuk shalat, maka tidak ada ganjaran shalat baginya, kecuali karena udzur.” [1]
Jika ladang tersebut jauh dan tidak
ada seorang pun yang tinggal di sana, maka shalat bersama orang yang menemanimu
di ladang tersebut. Adapun jika ada masjid di dekat ladangmu dan engkau
mendengar adzan, maka wajib bagimu untuk shalat di masjid, engkau dan yang
bersama denganmu. Adapun jika ladang dan tanahmu jauh dari masjid, maka engkau
bisa shalat bersama orang yang menemanimu di ladangmu, Alhamdulilah.
[1] HR. At-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Shalat, Bab Dalil tentang yang mendengar adzan dan tidak menjawabnya, hadits no. 217. Ibnu Majah dalam Kitab Shalat, Bab Ancaman keras bagi yang tidak shalat secara berjama’ah, hadits no. 792. Baihaqi (2/119) dishahihkan oleh Al-Albani.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 193-194
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Bagaimana Cara Menasehati Akhwat agar Memakai Jilbab Syar’i?
Pertanyaan
Yang mulia syaikh, kami berharap engkau memberikan nasehat dan pengarahanmu kepada saudari-saudari kami agar dapat komitmen dan berpegang teguh dengan hijab yang syar’i, semoga Allah membalas kebaikanmu?
Jawaban
Kami nasehatkan dan kami wasiatkan kepada saudari-saudari kami di jalan Allah agar senantiasa mengharuskan dirinya untuk memakai hijab dan menutupi aurat, serta tidak menampakkan perhiasan, karena hal ini dapat menjadi fitnah bagi dirinya dan selainnya. Tidak boleh menampakkan sesuatu yang ada pada diri mereka yang dapat menjadi fitnah bagi manusia lainnya, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila kamu meminta suatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 53) Maka yang wajib adalah memakai hijab, karena hal itu lebih membersihkan hati mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 33)
Seorang salaf berkata “Bertingkah-laku seperti orang jahiliyah (Tabarruj) adalah menampakkan kebaikan dan kecantikannya, seperti wajah, kepala, punggung, tangan, dada, ini semua adalah fitnah. Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupi jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 59) Jilbab adalah apa yang dipakai seorang wanita untuk menutupi diri dengannya. Maka yang wajib atas kalian wahai para wanita untuk menutupi diri kalian dengan hijab dan berhati-hati dari fitnah manusia. Wanita harus tertutup seluruh badannya, wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua kakinya saat bersama manusia lainnya, atau laki-laki di masjid atau di selain masjid. Mentup diri ketika berada di pasar-pasar, di mobil, dan di pesawat terbang. Semoga Allah memberikan pertolongan.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz yang diterbitkan oleh penerbit Darus Sunnah, halaman 192-93
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Anak, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Ngalap Berkah dari Dinding dan Bebatuan Ka’bah?
Pertanyaan
Apa hukumnya mengambil berkah dari dinding dan bebatuan Ka’bah?
Jawaban
Tidak boleh mengambil berkah dengan batu-batu Ka’bah, dindingnya, kelambunya; karena tidak ada anjuran dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau dari para shahabat. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena hal ini diajarkan oleh orang yang jahil atau tidak mengerti. Sesungguhnya yang disyariatkan Allah adalah mencium hajar aswad dan memegangnya dengan tangan, serta memegang rukun yamani dengan tangan, seperti inilah yang ada di dalam sunnah. Ketika Umar Radhiyallahu Anhu mencium hajar aswad, dia berkata,
إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ .
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak bermanfaat, Seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”[1]
Seperti inilah meletakkan kedua tangan di atas dada di antara rukun yamani dan pintu multazam dan berdoa, ini disyariatkan. Tidak untuk meminta berkah dari Ka’bah, tetapi ini adalah ibadah yang disyariatkan yang dilakukan oleh kalangan salaf. Begitu pula halnya yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ka’bah, ketika memasukinya beliau meletakkan tangannya di atas dada untuk meminta berkah dari Allah Ta’ala dengan berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada Ka’bah. Tidak meminta berkah dari kelambunya, atau dari hajar aswad, mintalah keberkahan kepada Allah di rumahnya yang mulia, di tempat lain, saat sedang thawaf, saat sedang sa’i dan di setiap tempat mintalah kepada Rabbmu.
Allah Ta’ala berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan doamu.” (Ghâfir [40]: 60) Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu Muhammad tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Engkau meminta kepada Rabbmu, memohon keberkahan dari sisi-Nya Ta’ala, meminta kepada-Nya kebaikan dan selainnya. Allah Ta’ala bisa memberi keberkahan pada amal perbuatan manusia, sebagaimana perkataan Usaid bin Al-Khudhair kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, “Bukanlah dia awal keberkahanmu wahai keluarga Abu Bakar.”[2] Yaitu bisa menjadi sebab untuk mendapatkan kebaikan, sehingga Dia memberimu syafaat karena suatu hal, engkau diberi hadiah juga menjadi sebab engkau mendapatkan pertolongan dari-Nya. Engkau mendapatkan keberkahan dengan suatu hal yang dapat bermanfaat dengannya, dengan ajakannya kepada jalan Allah, dengan pengajaran yang Dia berikan, dengan petunjuk-Nya, maka Dialah Allah yang memberi taufik untuk sesuatu yang seperti ini dan menjadikannya berkah. Sebagaimana Nabi Isa Alaihissalam berkata, “Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.” (QS. Maryam [19]: 31)
Adapun rumah ini (Ka’bah), maka
janganlah engkau meminta darinya keberkahan, atau dari kelambunya, atau dari
selainnya; karena keberkahan yang engkau minta berasal dari Allah. Jika engkau
berdoa kepada Allah Ta’ala saat
engkau thawaf, saat engkau sa’i,
atau di dalam Ka’bah,
engkau meminta kepada Allah dengan niat seperti ini yang harus kamu miliki,
saat kamu berada di dalam Ka’bah,
atau saat engkau mencium hajar aswad, atau saat engkau memegang rukun yamani,
itu berarti engkau tidak meminta keberkahan dari benda-benda yang diberkahi
tersebut, akan tetapi engkau meminta keutamaan, keberkahan, kebaikan dan
ganjaran kebaikan dari Allah Ta’ala.
[1] HR. Al-Bukhari dari hadits Umar Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Haji, Bab Apa yang disebutkan tentang hajar aswad, hadits no. 1597.
[2] Muttafaq Alaih, HR. Al-Bukhari, dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Kitab Tayamum, Bab firman Allah Ta’ala, “Maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang bersih (suci), usapkan wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.” (QS. Al-Mâ`idah [5]:6) Hadits no. 334. Muslim dalam Kitab Haid Bab Tayamum, hadits no. 367.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 186-187
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah
Bolehkah Jima’ dengan Istri ketika sudah berniat Ihram?
Pertanyaan
Seseorang telah mengambil niat ihram dari tempat miqatnya saat dia berada di dalam pesawat terbang dan ketika sampai di Jedah, dia bertemu dengan istrinya, sedang dia menyadari bahwa jima’ adalah salah-satu yang membatalkan ihram. Lalu istrinya berkata kepadanya sementara dia seorang terpelajar, “sesungguhnya barangsiapa yang membatalkan ihramnya, maka boleh baginya untuk melakukan jima’, kemudian dia boleh berihram kembali untuk yang kedua kali.” Lalu dia pun melakukannya bersama istrinya dan ia merasa bersalah setelah itu, maka apa yang harus dilakukan sekarang?
Jawaban
Dia telah berbuat kesalahan atas apa yang dilakukan bersama suaminya. Kami memohon kepada Allah ampunan dan keselamatan, dia telah berfatwa tanpa dasar ilmu, bisa jadi karena hasrat yang mendorongnya kepada fatwa yang bathil ini. Dia harus bertaubat kepada Allah Ta’ala, begitu pula dengan istrinya harus bertaubat kepada Allah. Mereka harus segera bertaubat kepada Allah, dan suami harus membayar dam dengan menyembelih unta atau sapi dan membatalkan hajinya. Dia harus menyempurnakan haji yang telah rusak dengan menyembelih unta atau sapi dan dibagikan kepada fakir miskin. Hal seperti inilah yang difatwakan kepada para shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, berupa seekor unta atau sapi bagi yang melakukan jima’ sebelum hari Arafah dengan menyempurnakan haji yang telah rusak dan harus mengerjakan haji sekali lagi, sebagai pengganti dari haji yang telah rusak. Kami memohon kepada Allah keselamatan dan tidak ada daya upaya serta kekuatan kecuali dengan izin Allah Ta’ala.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 108-109
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Wanita & Keluarga
Apa Hukum Seseorang Melakukan Dosa Besar Terus-Menerus?
Pertanyaan
Seorang bertanya, jika seorang muslim terbiasa melakukan salah satu dosa besar dan terus-menerus melakukannya, sedangkan dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut diharamkan oleh syariat, apakah dia keluar dari agama ini?
Jawaban
Jika dia terus-menerus melakukan dosa besar tersebut, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mengeluarkannya dari Islam. Akan tetapi, kaum Khawarij menganggap kafir pelaku dosa besar, tidak sebagaimana pendapat Ahlussunnah. Walaupun dia terus-menerus melakukan dosa tersebut, selama tidak menganggapnya halal, maka dia tidak bisa dianggap kafir. Walaupun dia terus-menerus meminum khamar, atau durhaka terhadap kedua orang tuanya, atau berzina-aku belindung kepada Allah dari perbuatan itu, maka dia tidak dianggap kafir, tetapi dia hanya dianggap sebagai pelaku maksiat. Perilaku maksiat yang terus-menerus seperti ini merupakan sebab tidak terhapusnya keburukan dan dosa yang dilakukan, tidak bermanfaat baginya shalat lima waktu yang dilakukannya, tidak bermanfaat zakat dan ibadah haji yang ditunaikan untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukannya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at berikutnya, dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah menghapus dosa di antaranya selama menjauhi dosa-dosa besar.”[1]
Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang agung, yang artinya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu.” (QS. An-Nisâ` [4]: 31)
Maka syarat dihapuskannya keburukan dan dosa adalah dengan menjauhi dosa-dosa besar. Jika masih terus-menerus melakukan dosa-dosa besar, maka diharamkan baginya untuk dihapuskan keburukannya, sehingga dia berada di dalam situasi yang berbahaya untuk masuk ke dalam neraka, jika dia wafat dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosa yang biasa dilakukannya. Akan tetapi jika dia masuk ke dalam neraka dia tidak abadi di dalamnya, dia diadzab menurut besarnya kadar dosa yang dilakukan, dia berada di dalam neraka selama yang dikehendaki Allah Ta’ala, kemudian Allah Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dengan ketauhidan dan keislamannya menuju surga dan dia tidak dianggap sebagai kafir, kecuali menganggap halal dosa besar. Seperti dia berkata bahwa perbuatan zina itu halal, maka dia telah menjadi kafir menurut pendapat seluruh kaum muslimin, atau khamar itu halal, maka dia telah menjadi kafir menurut pendapat seluruh kaum muslimin. Adapun jika seseorang minum khamar, sedangkan dia mengetahui dia telah bermaksiat dan mengetahui bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan, akan tetapi dia dikuasai oleh hawa nafsunya, taat kepada setan, mengikuti teman-teman yang biasa melakukan perbuatan dosa, maka dia adalah seorang hamba Allah yang durhaka.
Dia telah melakukan dosa besar yang merupakan sebab dia tidak akan mendapatkan ampunan. Begitu pula halnya dengan perbuatan zina, sedang dia menyadari dan meyakini bahwa perbuatan zina itu diharamkan, akan tetapi dia mentaati godaan setan dan hawa nafsu, maka dia tidak menjadi kafir, dia hanya sebagai pelaku maksiat yang menyebabkan dia tidak mendapatkan ampunan Allah dan terancam akan masuk ke dalam neraka kelak di hari kiamat, jika dia mati dalam keadaan demikian. Dia bukan sebagai kafir dan dia tidak kekal di dalam neraka, dia masuk ke dalam neraka dan menerima adzab di dalam neraka, selama yang Allah kehendaki, kemudian dia akan dikeluarkan darinya.
Sungguh Ahlussunnah sangat mengingkari kaum Khawarij dan bersikap tegas terhadap mereka; karena mereka mengafirkan pelaku dosa. Mereka mengafirkan Ali, Utsman, mengkafirkan beberapa orang shahabat Nabi Ridhwaanullah Alaihim Ajmain dengan alasan bahwa mereka telah berpaling dari ajaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, setelah wafatnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka menjadi orang-orang yang tersesat karenanya. Adapun yang benar bahwa kaum khawarij adalah kaum yang telah menjadi kafir. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda terkait mereka,
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فُوْقِهِ
“Mereka akan keluar dari agama, sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya, kemudian mereka tidak akan kembali, sehingga anak panah tersebut kembali diarahkan ke sasaran.”[2]
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Mereka keluar dari Islam, sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya [3]”.
Yang benar tentang kaum Khawarij,
bahwa mereka telah menjadi kafir; karena mereka mengafirkan kaum muslimin.
Adapun pelaku maksiat bukan termasuk orang yang dianggap kafir selama dia tidak
memandang dan meyakini halalnya kemaksiatan yang dilakukannya. Akan tetapi dia
melakukan maksiat karena mengikuti hawa nafsunya saja, baik melakukan zina,
atau meminum khamar, atau durhaka terhadap kedua orang tuanya, atau selain itu
dari perbuatan maksiat, akan tetapi dia harus segera bertaubat dan kembali ke
jalan Allah Ta’ala, semoga
Allah mengampuninya.
[1] HR. Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Thaharah, Bab Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, sebagai kafarat untuk waktu di antara keduanya, selama menjauhi dosa besar, hadits no. 233.
[2] HR. Al-Bukhari, dari hadits Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Tauhid, Bab Qira’atul fajir wal munafiq wa ashwatahum wa tilawatahum la tujawiz hanajirihim, dengan hadits no. 7562.
[3] HR. Al-Bukhari, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Istitabah Al-Murtaddin, Bab Qatlul khawarij wa Al-Murtaddin ba’da iqamatul hujjah alaihim, hadits no. 6933.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 103-104
- Published in Aqidah, Fiqih, Ruang Artikel Ilmiah
Kenapa Baitullah disebut Al-Haram?
Pertanyaan
Kenapa Baitullah disebut Al-Haram?
Jawaban:
Karena Baitullah adalah tempat yang diharamkan, tidak dihalalkan di dalamnya bagi seseorang untuk berburu hewan, tidak pula membunuh manusia, karena Mekah adalah tanah haram, atau sebagai negeri yang aman. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.” (QS. At-Tîn [95]: 3) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak boleh dicabut durinya, tidak boleh memburu hewannya, tidak boleh berdua-duaan dengan wanita yang bukan muhramnya dan tidak boleh menumpahkan darah di dalamnya.” Bahkan wajib atas setiap kaum muslimin untuk menghormatinya dan berhati-hati dari apa yang diharamkan Allah. Barangsiapa yang membunuh hewannya, memburunya, mencabut pepohonan yang ada di dalam tanah haram ini, atau menumpahkan darah tanpa alasan yang benar, bahkan yang merobek-robek kehormatan tanah haram, maka atasnya hukuman qishas. Begitu pula jika penduduknya membunuh manusia, maka mereka mesti dibunuh, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu, jika mereka memerangimu, maka perangi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 191) Jika mereka melampaui batas maka perangi mereka, akan tetapi jangan melampaui batas dan diberlakukan atas mereka hukum qishas. Ajak mereka untuk berbuat ma’ruf dan cegah mereka dari perbuatan mungkar, jika mereka tambah memperburuk suasana, maka perangi mereka dan lakukan apa yang dilakukan atas mereka berupa hukum qishas.
Ket: Artikel ini diambil dari Buku Petuah-Petuah Syaikh bin Baz hal 187 terbitan Penerbit DARUS SUNNAH
- Published in Aqidah, Ruang Artikel Ilmiah, Ruang Wanita & Keluarga








