Pertanyaan
Apa hukumnya mengambil berkah dari dinding dan bebatuan Ka’bah?
Jawaban
Tidak boleh mengambil berkah dengan batu-batu Ka’bah, dindingnya, kelambunya; karena tidak ada anjuran dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau dari para shahabat. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena hal ini diajarkan oleh orang yang jahil atau tidak mengerti. Sesungguhnya yang disyariatkan Allah adalah mencium hajar aswad dan memegangnya dengan tangan, serta memegang rukun yamani dengan tangan, seperti inilah yang ada di dalam sunnah. Ketika Umar Radhiyallahu Anhu mencium hajar aswad, dia berkata,
إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ .
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak bermanfaat, Seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”[1]
Seperti inilah meletakkan kedua tangan di atas dada di antara rukun yamani dan pintu multazam dan berdoa, ini disyariatkan. Tidak untuk meminta berkah dari Ka’bah, tetapi ini adalah ibadah yang disyariatkan yang dilakukan oleh kalangan salaf. Begitu pula halnya yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ka’bah, ketika memasukinya beliau meletakkan tangannya di atas dada untuk meminta berkah dari Allah Ta’ala dengan berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada Ka’bah. Tidak meminta berkah dari kelambunya, atau dari hajar aswad, mintalah keberkahan kepada Allah di rumahnya yang mulia, di tempat lain, saat sedang thawaf, saat sedang sa’i dan di setiap tempat mintalah kepada Rabbmu.
Allah Ta’ala berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan doamu.” (Ghâfir [40]: 60) Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu Muhammad tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Engkau meminta kepada Rabbmu, memohon keberkahan dari sisi-Nya Ta’ala, meminta kepada-Nya kebaikan dan selainnya. Allah Ta’ala bisa memberi keberkahan pada amal perbuatan manusia, sebagaimana perkataan Usaid bin Al-Khudhair kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, “Bukanlah dia awal keberkahanmu wahai keluarga Abu Bakar.”[2] Yaitu bisa menjadi sebab untuk mendapatkan kebaikan, sehingga Dia memberimu syafaat karena suatu hal, engkau diberi hadiah juga menjadi sebab engkau mendapatkan pertolongan dari-Nya. Engkau mendapatkan keberkahan dengan suatu hal yang dapat bermanfaat dengannya, dengan ajakannya kepada jalan Allah, dengan pengajaran yang Dia berikan, dengan petunjuk-Nya, maka Dialah Allah yang memberi taufik untuk sesuatu yang seperti ini dan menjadikannya berkah. Sebagaimana Nabi Isa Alaihissalam berkata, “Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.” (QS. Maryam [19]: 31)
Adapun rumah ini (Ka’bah), maka
janganlah engkau meminta darinya keberkahan, atau dari kelambunya, atau dari
selainnya; karena keberkahan yang engkau minta berasal dari Allah. Jika engkau
berdoa kepada Allah Ta’ala saat
engkau thawaf, saat engkau sa’i,
atau di dalam Ka’bah,
engkau meminta kepada Allah dengan niat seperti ini yang harus kamu miliki,
saat kamu berada di dalam Ka’bah,
atau saat engkau mencium hajar aswad, atau saat engkau memegang rukun yamani,
itu berarti engkau tidak meminta keberkahan dari benda-benda yang diberkahi
tersebut, akan tetapi engkau meminta keutamaan, keberkahan, kebaikan dan
ganjaran kebaikan dari Allah Ta’ala.
[1] HR. Al-Bukhari dari hadits Umar Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Haji, Bab Apa yang disebutkan tentang hajar aswad, hadits no. 1597.
[2] Muttafaq Alaih, HR. Al-Bukhari, dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Kitab Tayamum, Bab firman Allah Ta’ala, “Maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang bersih (suci), usapkan wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.” (QS. Al-Mâ`idah [5]:6) Hadits no. 334. Muslim dalam Kitab Haid Bab Tayamum, hadits no. 367.
Ket: Artikel ini dikutip dari buku PETUAH-PETUAH SYAIKH bin BAZ terbitan Penerbit Darus Sunnah hal. 186-187


